Oleh: Amanda Kosasih, Sec 3 Crosby
Film ini menceritakan kisah tentang kehidupan pahlawan nasional negara kita, Raden Adjeng Kartini, yang juga dikenal sebagai pelopor kebangkitan para perempuan pribumi Indonesia. Film ini merupakan film ketiga tentang Kartini, yang disutradari oleh Hanung Bramantyo dan Robert Ronny dan telah tayangkan di semua bioskop di seluruh Indonesia pada tanggal 21 April 2017.
Film ini dimulai dengan adegan di mana Kartini sedang bercermin dan memikirkan sesuatu. Lalu, ia berjalan menuju ayahnya dan seperti hendak memberitahukan sesuatu kepadanya. Adegan ini lalu dilanjutkan dengan adegan di mana Kartini kecil menangis tersedu-sedu karena ia akan dipisahkan dari ibunya yang akan tetap tinggal di rumah pembantu, sedangkan ia akan dikurung di rumah utamanya.
(Ayah dan Ibu tiri Kartini)
Kartini pun terpaksa harus menetap di rumah utamanya dan dikurung di kamarnya sendiri sampai ia menikah. Sementara ia dikurung, ia tidak dapat menemui ibunya sama sekali. Sampai pada suatu hari, kakak laki-laki Kartini memberikan sebuah kunci untuk membuka kabinet yang terdapat di kamarnya yang berisi buku-buku. Kartini pun mulai membaca buku-buku tersebut dan mendapat ilmu dari membacanya.
(Kartini sedang membaca buku-buku dari kabinet kakak laki-lakinya)
Kartini yang bisa berbahasa Belanda pun menulis surat-surat untuk teman-temannya yang tinggal di Belanda. Ia mulai terinspirasi dari cara pemikiran temannya, dan timbul lah keinginannya untuk memajukan perempuan pribumi Indonesia, karena ia melihat bahwa perempuan pribumi dianggap rendah oleh masyarakat.
Singkat cerita, Kartini pun menikah dengan bupati Rembang, K.R.M. Adipati Ario Singgih Djojo Adhiningrat, yang memberikan kebebasan untuk Kartini dan mendukungnya untuk meraih keinginannya, yaitu membangun sekolah untuk para perempuan pribumi.
Dari segi plot, film berdurasi 122 menit ini memang patut diberi pujian. Sutradara film ini telah berhasil menceritakan kehidupan Kartini dengan sempurna sehingga para penonton bisa mengetahui makna apa yang ingin disampaikan dari film tersebut. Selain itu, film ini mudah dicerna sehingga remaja pun dapat menonton dan mengerti filmnya. Bagi Anda yang ingin menonton, Anda tidak perlu takut jika Anda tidak mengerti bahasa yang digunakan di dalam film tersebut (yaitu bahasa Jawa dan Belanda), karena terdapat subtitel di bawahnya.
(Di balik layar pembuatan film Kartini)
Kostum yang dipakai oleh para pemain film Kartini sangat pas dan cocok untuk Indonesia pada jaman kolonial Belanda. Kebaya yang dipakai terkesan sederhana, dan dandanan yang digunakan juga tidak terlalu berlebihan.
Secara kualitas suara dan gambar, bisa dibilang cukup bagus untuk standar perfilman Indonesia. Namun jika dibandingkan dengan film barat, mungkin kualitasnya masih terbilang jelek. Tetapi secara keseluruhan, percakapan dalam film terdengar jelas dan gambarnya juga terlihat rapi.
Akting para pemain film tersebut juga tidak bisa dibilang buruk. Dian Sastro, aktris yang memerankan tokoh Kartini, telah berhasil memerankan sosok Kartini yang asli dengan baik. Ia juga berhasil berbicara dalam bahasa Belanda dengan fasih dan tidak terkesan aneh, dan logat Jawanya juga tidak kalah bagus.
Ada banyak adegan yang mengesankan untuk saya, seperti adegan di mana Kartini berpamitan dengan ibunya untuk menikah dan tinggal dengan calon suaminya, yang membuat saya terharu ketika menontonnya. Selain itu, ada juga adegan di mana Kartini dan adik-adiknya menjadi sangat dekat dan saling mendukung satu sama lain, yang menurut saya adalah adegan yang sangat menyenangkan.
Secara keseluruhan, saya menyukai film ini dan menurut saya, film ini memang patut diacungi jempol dan menerima pujian dari penontonnya. Film ini telah membuat saya senang, sedih dan terharu sekaligus ketika menontonnya. Saya merekomendasikan film ini untuk seluruh rakyat Indonesia, terutama para perempuan, agar kita semua tau betapa hebatnya pahlawan nasional kita, Kartini, dan betapa pantang menyerahnya dan seberapa kerja keras yang ia telah tuangkan supaya perempuan Indonesia bisa dibebaskan dari status sosial yang rendah di masyarakat.
“Tubuh boleh terpasung, tapi jiwa dan pikiran harus terbang sebebas-bebasnya.”
-Kartini-
Penulis: Amanda Kosasih, Sec 3 Crosby
Good Review.